Bapak, Ibuk, Citra, Jakarta

 

Perjalanan ke Jakarta bukan perkara mudah. Aku menyelesaikan semua amanah terutama pekerjaanku disini. Hampir gila rasanya sudah bersusah payah tetap saja ada salahnya. Tapi bukan itu maksudnya. Aku tidak tau sejak kapan rasa cinta antara ayah dan ibuku memudar. Yang jelas aku menyadarinya ketika berada di Jakarta. Rasa cinta yang kumaksud disini adalah bentuk sikap. Aku merasa tidak ada kehangatan antara mereka berdua. Ah mulanya kufikir ini hanya perasaanku saja. Tapi, tidak. 

Ayah dan Ibuku bertengkar, meski tidak hebat tetapi perang dingin yang mengganggu kebahagiaan kami malam itu. Ibu yang sewot dan bapak yang entahlah. Ibu memang salah. Dan Bapak yang terlalu cepat mengambil keputusan karena sudah kepalang marah. Miskomunikasi, nada bicara hal sepele itulah yang merusak makan malam kami malam itu. Aku jujur sedih dan ingin marah rasanya. Terlintas di fikiranku tidak bisakah mereka berakting saja untuk sekedar menampakkan mereka baik-baik saja. Andai mereka tau bahwa aku berangkat ke Jakarta dengan penuh kesedihan karena Umi. Merelakan tabunganku untuk mendatangkan mereka ke Jakarta. Mereka tidak meminta, aku yang memang ingin. Apa aku terlalu memaksakan ? aku rasa tidak. Justru aku berkorban. Tidak bisakah mereka berdua setidaknya mengerti dan minimal berpura-pura saja untuk bahagia ?

Malam itu, jadi malam yang dingin. Bapak pulang malam dan berkata akan pulang esok hari. sambil menjual hp sebagai ongkos pulang. Padahal hari itu adalah jadwal kami jalan-jalan ke Monas dan Masjid Istiqlal. Andai bapak bisa sedikit saja menurunkan egonya dan ikut bersama kami. Berpura-pura bahagia dan senang. Meski hanya pura-pura. Aku sudah melewati banyak hal berat. Tidak bisakah mereka mengalah ? hari itu saja. Tidak bisakah mereka berpura-pura baik-baik saja ? nyatanya mereka tidak bisa. Bukan salah mereka. Aku saja yang terlalu memaksa.
Kurasa memang aku penyebabnya..